Tehnik Per - UU
TAHAPAN
PENYUSUNAN UU/PERDA
1. Tahap
Konseptual
2. Tahap
Konsultasi Publik
3. Tahap
Politik
4. Tahap
Sosialisasi
TUGAS PERANCANG
1. Menterjemahkan
suatu kebijakan ke dalam peraturan secara spesifik & terinci tentang
perilaku yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah.
2. Merancang
peraturan dalam format yang spesifik, mudah dipahami, dapat diterapkan &
tidak terdapat pengertian ganda/kabur
TEORI LEGAL DRAFTING
Legal
Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan
yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal
peraturan perundang-undangan yang diusulkan
LATAR BELAKANG
1. Naskah
Akademik merupakan bagian tak terpisahkan dari penyusunan peraturan
perundang-undangan
2. NA
memuat gagasan pengaturan serta materi substansial Ranper-uu bidang
tertentu
3. NA
merupakan bahan pertimbangan dalam pengajuan penyusunan Ranper-uu
MUATAN NASKAH AKADEMIK
1. Urgensi dan tujuan penyusunan;
2. Sasaran yang ingin diwujudkan;
3. Pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
4. Jangkauan serta arah pengaturan
DASAR HUKUM
1. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2004 tentang Tata Cara
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden
2. Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No.
G-159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik
Peraturan Perundang-undangan.
BENTUK NASKAH AKADEMIK
Berupa
uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (ilmu
hukum) sesuai dengan politik hukum yang digariskan
UNSUR-UNSUR YANG HARUS ADA
DALAM NASKAH AKADEMIK
Ø Hasil inventarisasi hukum positif
Ø Hasil inventarisasi persoalan hukum aktual
Ø Materi hukum yang akan disusun Raperda
Ø Konsepsi landasan, alas hukum, & prinsip yang akan
digunakan
Ø Pemikiran tentang norma yang dituangkan ke dalam pasal-pasal
Ø Gagasan naskah awal Raperda yang disusun secara sistematis:
Bab, paragraf, pasal, ayat
FORMAT NASKAH AKADEMIK
NA terdiri atas 2 bagian:
- Bagian pertama, berisi tentang laporan hasil pengkajian dan penelitian tentang uu/raperda yang akan disusun
- Bagian kedua, berisi tentang konsep awal uu/raperda yang terdiri atas pasal-pasal yang diusulkan
FORMAT BAGIAN PERTAMA
BAB I Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai
3. Metode Pendekatan
ü Pendekatan Filosofis
ü Pendekatan Yuridis
ü Pendekatan Sosiologis
ü Pendekatan Ekonomis
ü Pendekatan Politis
4. Pengorganisasian penyusun
BAB II Ruang Lingkup Naskah Akademik
1. Ketentuan umum
2. Identifikasi permasalahan
3. Kebijakan untuk mengatasi masalah
Memuat konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum yang perlu diatur,
serta pemikiran-pemikiran solusi yang disarankan sedapat mungkin dengan
mengemukakan alternatif..
BAB III Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
berisi :
a. Rangkuman pokok isi naskah akademik;
b. Luas lingkup materi yang diatur, dan kaitannya secara
sistematis dengan lain-lain peraturan perundang-undang;
c. Bentuk pengaturan yang dikaitkan dengan materi muatan
2. Saran-saran
mengenai :
a. Apakah semua materi naskah akademik sebaiknya diatur
dalam satu bentuk peraturan atau ada sebagian yang sebaiknya dituangkan dalam
peraturan pelaksana atau peratran lainnya
b. Usulan mengenai penetapan skala prioritas penyusunan naskah
akademik peraturan perundang-undangan da saat paling lambat peraturan harus
selesai diproses, beserta alasannya
BAB IV Lampiran
1. Daftar
Kepustakaan;
2. Inventarisasi
Peraturan yang relevan dan masih berlaku;
3. Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM);
4. Laporan hasil
penelitian di lapangan (kalau ada);
5. Berita acara
proses penyusunan naskah akademik;
6. Saran-saran dan
makalah-makalah tertulis dari anggota penyusun naskah akademik; dan
7. Berita acara
rapat-rapat
FORMAT BAGIAN KEDUA
v Konsiderans
v Dasar hukum
v Ketentuan umum
v Materi/substansi (asas, norma)
v Ketentuan penegakan hukum (sanksi administrasi & pidana)
v Ketentuan peralihan
v Penutup
KERANGKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Judul
2. Pembukaan
a. Frase
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
b. Jabatan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
c. Konsiderans
d. Dasar
Hukum
e. Diktum
3. Batang
Tubuh
a. Ketentuan
Umum
b. Materi
Pokok yang Diatur
c. Ketentuan
Pidana (jika diperlukan)
d. Ketentuan
Peralihan (jika diperlukan)
e. Ketentuan
Penutup
4. Penutup
5. Penjelasan
(jika diperlukan)
6. Lampiran
(jika diperlukan)
1. JUDUL
Judul Peraturan Perundang-undangan
memuat keterangan mengenai:
a. Jenis,
Nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan
Perundang-undangan;
b. Nama
Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi
Peraturan Perundang-undangan;
c. Judul
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa
diakhiri tanda baca.
Contoh 1:
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
Judul perubahan UU
Ø Jika
Judul Peraturan Perundang- dangan merupakan Peraturan Perundang-undangan perubahan,
maka dalam penulisan judul ditambahkan frase Perubahan Atas didepan nama
Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
Ø Contoh
2 :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS UNDANG -UNDANG NOMOR 15
TAHUN
2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Judul UU Perubahan lebih dari 1 kali
v Jika
Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali,
diantara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang
menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa
merinci perubahan sebelumnya
v Contoh
3 :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
28 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA
CARA PERPAJAKAN
Judul Perubahan UU Dengan Nama
Singkat
ü Jika
Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, maka Peraturan
Perundang-undangan erubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan
Perundang-undangan yang diubah.
ü Contoh
4 :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
...TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
Judul Undang-Undang Pencabutan
Ø Pada
judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata pencabutan
di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Ø Contoh
5 :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN
UNDANG-UNDANG
NOMOR
4 TAHUN 1970
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
Judul UU Pengesahan Perjanjian
Internasional
v Jika
Peraturan Perundang-undangan itu merupakan pengesahan perjanjian internasional,
maka pada judul Peraturan Perundang- undangan pengesahan perjanjian atau
persetujuan intemasional ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian
atau persetujuan intemasional yang akan disahkan.
v Jika
dalam perjanjian atau persetujuan intenasional Bahasa Indonesia digunakan
sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa
Indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf
cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung.
v Contoh
6 :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN
PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK
INDONESIA
DAN AUSTRALIA MENGENAl BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
(TREATY
BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN
CRIMINAL MATTERS)
judul Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu)
Ø Pada
judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan
menjadi Undang-Undang, ditambahkan kata penetapan di depan nama
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frase menjadi
Undang-Undang.
Ø Contoh
7 :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI
UNDANG-UNDANG
v Jika
dalam perjanjian atau persetujuan intenasional, Bahasa Indonesia tidak
digunakan sebagai teks resmi, maka nama perjanjian atau persetujuan ditulis
dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti dengan
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca
kurung.
v Contoh
8 :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
ILLICIT
TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC
SUBTANCES,
1998
(KONVENSI
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN
PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPlKA,
1998)
2. PEMBUKAAN
Pembukaan Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Frase
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
b. jabatan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
c. Konsiderans;
d. Dasar
Hukum; dan
e. Diktum.
a. Frase
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
v Pada
pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan
pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
tengah marjin.
v Contoh
:
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
b. Jabatan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
Ø Jabatan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan adalah Pejabat yang berwenangan untuk
membuat suatu Peraturan Perundang-undangan.
Ø Pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan, seperti Presiden, Gubernur, Bupati/
Walikota.
Ø Jabatan
pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca
koma.
Ø Contoh
:
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
GUBERNUR
PROPINSI SUMATERA BARAT,
WALIKOTA
BUKITTINGGI,
BUPATI
TANAH DATAR,
WALI
NAGARI SALIMPAUNG,
c. Konsiderans;
ü Konsideran adalah uraian yang memuat pokok-pokok pikiran mengapa
Peraturan Perundangan-Undangan itu dibuat, oleh karena itu dalam Konsideran
suatu Peraturan Perundang-undangan harus memuat landasan filosofis, yuridis,
dan sosiologis.
ü Dalam
konsiderans selalu diawali dengan kata Menimbang
ü Tiap-tiap
pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat
yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik
koma.
ü Contoh
1 :
Menimbang:
bahwa .......................................................
ü Jika
konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan
terakhir berbunyi sebagai berikut :
ü Contoh
2 :
Menimbang
:
|
a. bahwa
...................................................
b. bahwa
.................................................
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
membentuk Undang-Undang tentang
.................................;
|
ü Konsiderans
Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi
uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa
pasal dari Undang-Undang yang memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah
tersebut.
ü Contoh
3 :
Menimbang
:
|
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang Berat;
|
d. Dasar
Hukum (LANDASAN YURIDIS)
• Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan
pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut;
• Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat :
• Contoh :
Mengingat:
1. ....................................................
• Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar
hukum dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan hanya Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi;
• Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan
Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau Peraturan
Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku,
tidak dicantumkan sebagai dasar hukum;
• Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan
dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata
urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun
secara kronologis berdasarkan saat pengUndangan atau penetapannya;
• Dasar hukum yang diambil dari pasal-pasal dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan
menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal
terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital;
• Contoh :
Mengingat:
|
Pasal 5
ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
|
• Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup
mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan;
• Dalam konsiderans Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital;
• Contoh :
Undang-Undang
Nomor …………………………
• Dasar hukum dengan mengambil Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
diletakkan di antara tanda baca kurung.
• Contoh :
Mengingat:
|
1. …………………………………………..
2. Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 4316
|
• Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang-undangan
jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis
lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa
Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan Nomor Staatsblad yang dicetak
miring di antara tanda baca kurung.
• Contoh :
Mengingat:
|
1. Kitab
Undang-Undang Hukun Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:
23 );
2. ………………………………………..;
|
• Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan
Perundangundangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan
seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
• Contoh :
Mengingat : 1.
....................................................;
2.
....................................................;
3. …...............................................;
• Kata Memutuskan;
• Kata Menetapkan;
• Nama Peraturan Perundang-undangan.
Kata Memutuskan
• Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik
dua serta diletakkan di tengah marjin.
• Contoh :
MEMUTUSKAN
:
• Pada Undang-Undang atau Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan
dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
• yang diletakkan di tengah marjin.
• Contoh:
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Kata Menetapkan
• Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan
yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat.
Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda baca titik dua.
• Nama yang tercantum dalam judul. Peraturan Perundangundangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan
dan didahului dengan pencantuman jenis Peraturan Perundangundangan tanpa
frase Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
dan diakhiri dengan tanda baca titik.
• Contoh :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
• Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat yang
tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat,
termasuk peraturan desa/nagari secara mutatis mutandis berpedoman pada
pembukaan Undang-Undang.
3. BATANG
TUBUH
Ø Batang
tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan
Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.
Ø Pada
umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
a. Ketentuan Umum;
b. Materi Pokok yang diatur;
c. Ketentuan Pidana (jika diperlukan);
d. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan);
e. Ketentuan Penutup.
a. Ketentuan
Umum;
v Ketentuan
umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak
dilakukan pengelompokan bab, ketentua umum diletakkan dalam pasal (-pasal)
awal.
v Ketentuan
umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
v Ketentuan
umum berisi:
ü Batasan
pengertian atau defmisi;
ü Singkatan
atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
ü Hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain
ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
v Frase
pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi :
ü Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan:
ü Atau
ü Dalam
Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
v Jika
ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau
akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi Nomor urut
dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda
baca titik
v Kata
atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah
yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal -pasal selanjutnya.
v Jika
suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu
diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu,
dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi
v Jika
suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan
umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi
di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian
atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan
tersebut
v Karena
batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk
menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau
definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu
harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda
v Urutan
penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
ü Pengertian
yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang
berlingkup khusus;
ü Pengertian
yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam
urutan yang lebih dahulu; dan
ü pengertian
yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara
berurutan.
b. Materi
Pokok Yang Diatur
Ø Materi
pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika
tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal
pasal ketentuan umum.
Ø Pembagian
materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang
dijadikan dasar pembagian.
ü Pembagian
berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi (misalnya pembagian dalam
KUHP):
o Kejahatan
terhadap keamanan negara;
o Kejahatan
terhadap martabat Presiden;
o Kejahatan
terhadap negara sahabat dan wakilnya;
o Kejahatan
terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
o Kejahatan
terhadap ketertiban umum dan seterusnya
ü Pembagian
berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana,
dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan
kembali.
ü Pembagian
berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan
Jaksa Agung Muda
c. Ketentuan
Pidana
v Ketentuan
pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran
terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah
v Dalam
merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana
yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena
ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana
menurut Peraturan Perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang- Undang
ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
v Dalam
menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai
dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur
kesalahan pelaku
v Ketentuan
pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang
letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan.
Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan
penutup.
v Jika
di dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab,
ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal
(-pasal) yang berisi ketentuan peralihan.
v Jika
tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan
sebelum pasal penutup.
v Ketentuan
pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah
v Rumusan
ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah
yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut.
v Dengan
demikian, perlu dihindari:
ü Pengacuan
kepada ketentuan pidana Peraturan Perundangundangan lain.
ü Pengacuan
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari
norma yang diacu tidak sama; atau
ü Penyusunan
rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang
diatur dalam pasal (-pasal) sebelumnya
v Jika
ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan
dengan frase setiap orang.
v Jika
ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan
secara tegas, misalnya,
ü orang
asing,
ü pegawai
negeri,
ü saksi.
v Sehubungan
adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam dengan pidana itu
dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan.
v Rumusan
ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan bersifat
kumulatif, altematif, atau kumulatif altematif.
v Contoh:
ü Sifat
kumulatif :
Setiap orang yang dengan sengaja
menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat
perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00
(tiga ratusjuta rupiah).
ü Sifat
altematif :
Setiap orang yang dengan sengaja
menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda
paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
ü Sifat
kumulatif alternatif :
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus juta ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
v Tindak
pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi Pidana
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
ü Badan
hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;
ü Mereka
yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
ü Kedua-duanya.
d. Ketentuan
Peralihan
v Ketentuan peralihan memuat penyesuaian
terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada
pada saat Peraturan Perundangundangan baru mulai berlaku, agar Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan
permasalahan hukum.
v Ketentuan
peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan
pidana dan bab Ketentuan Penutup.
v Jika
dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang
memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan
penutup
v Pada saat suatu Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku
segala hubungan hukum yang
ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun
sesudah Peraturan Perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk
pada ketentuan
Peraturan Perundang- Undangan baru
v Di
dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat pengaturan yang
memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum
v Penyimpangan
sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan atau hubungan
hukum tertentu
v Jika
suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang-undangan tersebut
hendaknya memuat ketentuan mengenai, status dari
tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara
tanggal mulai berlaku surut dan tanggal
mulai berlaku pengUndangannya.
v Contoh:
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat
tanggal pengUndangan Peraturan Pemerintah ini.
v Mengingat
berlakunya asas-asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut hendaknya
tidak diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidana
v Penentuan
daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi Peraturan Perundang- Undangan
yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakatan.
v Jika
penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda
sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan
Perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum
dan hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu tertentu
v Contoh
:
Izin ekspor rotan setengah jadi yang
telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah……. Tahun……. masih tetap
berlaku untuk jangka waktu 60
(enam puluh) hari sejak tanggal pengUndangan Peraturan
Pemerintah ini.
v Hindari
rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan terselubung atas
ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain.
v Perubahan
ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengerlian baru di dalam ketentuan umum
Peraturan Perundangundangan atau
dilakukan dengan membuat Peraturan Perundangundangan perubahan.
e. Ketentuan
Penutup
Ø Ketentuan
penutup ditempatkan dalam bab terakhir.
Ø Jika
tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal
(-pasal) terakhir.
Ø Pada
umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
ü Penunjukan
organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
ü Nama
singkat;
ü Status
Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
ü Saat
mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Hal Yang Perlu Diperhatikan Pada
Ketentuan Penutup
v Ketentuan penutup dapat memuat
peraturan pelaksanaan yang bersifat:
ü Menjalankan
(eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk
memberikan, izin, mengangkat pegawai, dan lain-lain;
ü Mengatur
(legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan
pelaksanaan
v Bagi
nama Peraturan Perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai
nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
ü Nomor
dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
ü Nama
singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau
akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
v Nama
singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.
v Contoh
nama singkat yang kurang tepat :
(Undang-Undang tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan)
Undang-Undang ini dapat disebut
Undang-Undang tentang Karantina Hewan.
v Hindari memberikan nama singkat bagi
nama Peraturan Perundangundangan yang
sebenarnya sudah singkat.
v Contoh
nama singkat yang kurang tepat: (Undang-Undang tentang Bank Sentral)
Undang-Undang ini dapat disebut
Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
v Hindari
penggunaan sinonim sebagai nama singkat.
v Contoh
nama singkat yang kurang tepat: (Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara)
Undang-Undang ini dapat disebut
dengan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara.
v Jika materi dalam Peraturan
Perundang-undangan baru menyebabkan perlunya
penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan lama, di dalam
Peraturan Perundang-undangan baru harus
secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan
Perundang-undangan lama.
v Rumusan
pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
v kecuali
untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
v Demi
kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak
dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan
Perundang-undangan mana yang dicabut.
v Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai
berlaku, gunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
v Contoh
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Undang-undang Nomor ... Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik
Indonesia. Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
v Jika
jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat
dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi,
v Contoh
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku:
1. UU no….
2. UU No….
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
v Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai status
hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang telah
dikeluarkan berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut.
v Contoh:
Pasal 102 UU No. 9 Tahun 1976
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
v Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai
berlaku, gunakan frase ditarik kembali dan dinyatakan tidak
berlaku.
v Jika
ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas
di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan
dengan:
ü Menentukan
tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku
ü Menyerahkan penetapan saat mulai
berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan
lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh
Peraturan Perundangundangan lain yang lebih rendah
ü Dengan
menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak
menimbulkan kekeliruan
penafsiran gunakan frase setelah ... (tenggang waktu) sejak ...
v Hindari
frase ...mulai berlaku efektif pada tanggal ...atau yang sejenisnya,
karena frase ini menimbulkan ketakpastian mengenai saat resmi berlakunya suatu
Peraturan Perundang-undangan : saat Pengundangan atau saat berlaku efektif.
v Penyimpangan
terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundangundangan hendaknya dinyatakan
secara tegas dengan:
ü Menetapkan
bagian-bagian mana dalam Peraturan Perundangundangan itu yang berbeda saat
mulai berlakunya;
ü Menetapkan
saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu
v Peraturan Perundang-undangan hanya
dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Pencabut Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu
dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan
untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi Peraturan
Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
4. PENUTUP
v Penutup
merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat:
ü Rumusan
perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah,
atau Berita Daerah;
ü Penandatanganan
pengesahan atau penetapan Peraturan Perundangundangan;
ü Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan; dan
ü Akhir
bagian penutup
v Rumusan
perintah pengundangan dan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
yang berbunyi sebagai berikut:
ü Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan …(jenis Peraturan Perundang-undangan) …
ini Dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
v Rumusan
perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundangundangan dalam Berita
Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
v Contoh
:
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan …(jenis Peraturan Perundang-undangan), ..... ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia
v Penandatanganan
pengesahan atau penetapan Peraturan Perundangundangan memuat:
ü tempat dan tanggal pengesahan atau
penetapan;
ü Nama
jabatan;
ü Tanda
tangan pejabat; dan
ü Nama
lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.
v Rumusan
tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
v Nama
jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan
diberi tanda baca koma.
v Contoh
untuk pengesahan :
Disahkan di Jakarta
pada tanggal ... .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
tanda
tangan
NAMA
v Contoh
untuk penetapan :
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal ... .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
tanda
tangan
NAMA
v Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan memuat:
ü Tempat dan tanggal Pengundangan
ü Nama
jabatan yang berwenang mengundangkan;
ü Tanda
tangan; dan
ü Nama
lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.
v Tempat tanggal Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah
penandatanganan pengesahan atau penetapan).
v Nama
jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan
diberi tanda baca koma
v Contoh
Diundangkan di …
Pada tanggal …
Menteri (yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang Peraturan Perundang-undangan)
Tanda
Tangan
NAMA
Menurut Yuliandri (Guru Besar Ilmu
Perundang-undangan FH UA)
v Asas-asas
pembentukan perundang-undangan baik diwujudkan dengan perencanaan dengan adanya
perencanaan Pembentukan undang-undang.
v Perencanaan
Pembentukan Undang-undang didahului dengan:
ü Penyusunan
Naskah Akademik
ü Implimentasi
partisipasi secara optimal pada fase penyiapan dan pembahasan
ü Antispasi
mengenai kemungkinan pengujian undang-undang terhadap UUD, melalui penyesuaian
materi muatan yang diatur dengan undang-undang
LANDASAN
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG/PERATURAN DAERAH
v Landasan
filosofis
v Landasan
sosiologis
v Landasan
yuridis
v Landasan
perencanaan
v Landasan
Politis
1. Landasan
filosofis
v Filosofis
berasal kata filsafat yng berarti ilmu kebijaksanaan
v Filosofis
berarti sifat-sifat yang mengarah kepada kebijaksanaan
v Filosofis
adalah pandangan hidup suatu bangsa yaitu nilai-nilai moral dan etika yang
berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik.
v Landasan
filosofis dari perundang-undnagan adalah daya tangkap pembentukan hukum atau
perundang-undangan terhadap nilai-nilai yang terangkum dalam teori-teori
filsafat maupun dalam doktrin filsafat resmi dari negara, seperti dokrin resmi
dalam filsafat Pancasila
Landasan Pembentukan Per-UU-an
v Landasan
Filosofis (filosofische grondslag)
o Rumusan
atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) jika dikaji
secara filosofis; dan
o Sesuai
dengan cita kebenaran (idee der waar-heid), cita keadilan (idee der
gerechtigheid), dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid)
v Dalam
pembentukan hukum di indonesia yang berlandaskan pandangan filosofis Pancasila:
o Nilai-nilai
religius – sila KYME
o Nilai2 HAM
dan pengahormatan terhdp harkat dan martabat kmanusiaan – sila ke 2
o Nilai-nilai
kepentingan bangsa secara utuh, dan kestauan hukum nasional – sila ke 3
o Nilai-nilai
demokrasi dan kedaulatan rakyat – sila k 4
o Nilai-nilai
keadilan baik indivisual maupun sosial sila ke 5
v Landasan
filosofis ini dituangkan dalam konsideran “menimbang”
2. Landasan
sosiologis
Ø Dikatakan
mempunyai landasan sosiologis bila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU efektif
berlaku dimasyarakat.
Ø Gejala
sosial di tengah masyarakat dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan
perundang-undangan
Landasan sosiologis
ü Pada
dasarnya berlaku hukum ditengah masyarakat didasrakan kepada 2 teori, yaitu:
ü T.
kekuasaan (machttheori) scr sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan
penguasa.
ü T.
Pengakuan (annerkennungstheori), KH berlaku berdasarkan penerimaan dari
masyarakat tempat hukum itu berlaku
ü Lnadasan
ini juga ditungkand alam dasar”menimbang”
3. Landasan
Yuridis (Rechtsgrond )
v Mempunyai
landasan hukum atau dasar hukum (legalitas) bila terdapat dasar hukum
yang lebih tinggi derajatnya.
v Adanya
pertanggungjawaban kongkrit ketika nilai hukum tersebut dilanggar.
v Dituangan
dalam dasar mngingat
v Persyaratan
yuridis yang harus dipenuhi:
ü Dibuat
oleh lembaga yang berwenang.
ü Adanya
kesesuaian antara jenis dan materinya yang diatur.
ü Memiliki
prosedur yang jelas
ü Tidak
bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi
4. Landasan
Teknik Perencaanan
v Landasan
ini berkaitan dengan hal2 yang menyangkut dengan kejelasan rumusan, konsistensi
dalam menggunakan peristilahan atau sistematika dan penggunaan yang jelas.
v Landasan
ini ditujukan kepada person dan lembaga pembentuknya.
5. Landasan
politis
Ø Terkiat
kebijakan nasional maupun kekausaan negara
Ø Pembentukan
perundang-undangan dilandasi pengakuan politis atas dasar prinsip kedaulatan
rakyat dan demokrasi pemerintahan
Ø Konsideran
menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsiderans factual,
yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis
Ø Konsideran
mengingat (rechtgrond) dikenal juga dengan istilah konsiderans yuridis,
berisikan dasar-dasar hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk
pijakan legalitas.
makasih
BalasHapusmakasiih,,,informasinya sgt bergunaa
BalasHapus