TIPS&TRIK

hardyee blog


TIPS & TRIK

Makalah tentang Ombudman Reoublik Indonesia (ORI)


Ombudman Reoublik Indonesia (ORI)

PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
            Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga negara di manapun. Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance). Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek maladministrasi, antara lain terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efesien, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik.  Setalah reformasi bergulir, reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan semangat reformasi itu, pemerintah melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan membentuk lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Salah satu diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut Ombudsman Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000, berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pembentukan lembaga Ombudsman bertujuan untuk membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui peran serta masyarakat.
            Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (mains state organs). Adapun selain itu, seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU), termasuk Ombudsman Republik Indonesia dan sebagainya adalah sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary bodies).
            Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural oleh Inspektorat Jenderal, maupun fungsional yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu, juga ada terdapat organisasi non pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara. Akan tetapi kesemua lembaga itu memiliki catatan tersendiri sehingga mengecewakan masyarakat. Lembaga pengawas struktural yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan atau departemen. Pengawasan fungsional oleh Badan Pemeriksa Keuangan hanya sempit pada masalah pengawasan uang negara dan tidak menerima keluhan yang bersifat individual. Dewan Perwakilan Rakyat dengan fungsi pengawasannya kepada pemerintah lebih bersifat politis karena memang secara kelembagaan adalah lembaga politik dan tidak terlepas dari kelompok yang mereka wakili. Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh LSM karena lembaga swasta dan kurang fokus sehingga sering ditanggapi “acuh tak acuh”. Oleh karena itu, keberadaan Ombudsman sebagai lembaga negara yang mandiri dan bebas dari kekuasaan manapun serta menerima pengaduan masyarakat sangat dibutuhkan. Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional pengaduan pelayanan publik hanya disampaikan kepada instansi yang dilaporkan dan penegakannya sering dilakukan oleh pejabat yang dilaporkan sehingga masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Selain itu, untuk menyeleseikan pengaduan pelayanan publik, selama ini dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyeleseian melalui pengadilan tersebut memerlukan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni Ombudsman Republik Indonesia yang dapat menangani pengaduan pelayanan publik dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya. Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pada tanggal 7 oktober Tahun 2008, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya. Pengaturan Ombudsman dalam Undang-Undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki subpoena power (kekuatan memaksa), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi Ombudsman dalam menangani laporan.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.[1] Tugas Ombudsman adalah memeriksa laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Sejarah pembentukan ombudsman di Indonesia?
2.      Bagaimana eksistensi ombudsman terkait dengan di bentuknya pasal tentang pelayanan publik?

BAB II
PEMBAHASAN
Keberadaan Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia awalnya dibentuk dengan nomenklatur “Komisi Ombudsman Nasional” pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Sejak disahkannya RUU Ombudsman RI menjadi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 oleh DPR RI pada tanggal 9 September 2008, lembaga KON berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.
Gagasan pembentukan Ombudsman di Indonesia sesungguh sudah pernah muncul di tahun 1999. Tanggal 8 Desember 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman dan Antonius Sujata. Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk dengan Keppres tersebut.
Pada tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Sehingga akhirnya pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman. [2]
Bila dibaca Keppres Nomor 44 Tahun 2000, setidaknya terdapat tiga gagasan pentingnya kehadiran Komisi Ombudsman Nasional;
  1. bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme;
  2. bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;
  3. bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan;
Di awal pembentukannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden, KON memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR.
Dalam kasus tersebut, KON menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya pasal 8 ayat (1), yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan Gus Dur sebagai seorang Presiden. Oleh karena itu kemudian KON memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur selaku Preseden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR.  Dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di masyarakat.

II. Proses Legislasi UU Ombudsman
Akar sejarah perkembangan Ombudsman modern dapat dilacak dari istilah “justitie ombudsman” (Ombudsman for justice) di Swedia yang didirikan pada tahun 1809. Institusi Ombudsman mulai menyebar ke negara-negara lain pada abad ke dua puluh, yaitu ketika negera-negara Skandinavia mulai mengadopsinya: Finlandia pada 1919,, Denmark (1955) dan Norwegia (1962). Popularitas institusi Ombudsman kemudian meningkat sejak dekade 1960-an, ketika banyak negara-negara persemakmuran dan negara-negara lain, terutama negara-negara Eropa mendirikan institusi Ombudsman seperti halnya Selandia Baru (1962), Inggris (1967), Propinsi-propinsi di Kanada (mulai tahun 1967), Tanzania (1968), Israel (1971), Puerto Rico (1977), Australia (1977 pada tingkat federal, 1972-1979 pada tingkat negara), Perancis (1973), Portugal (1975), Austria (1977), Spanyol (1981) dan Belanda (1981).[3]
Pada tahun 1998, lebih dari 100 negara di seluruh dunia telah membentuk lembaga ombudsman. Di beberapa negara ada Ombudsman yang eksistensinya berada pada tingkat regional, provinsi, negara bagian atau pada tingkat distrik (kabupaten/kotamadya). Beberapa negara mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat nasional, regional dan sub-nasional seperti halnya Australia, Argentina, Meksiko, dan Spanyol, sementara negara-negara yang lain mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat sub-nasional pemerintahan seperti Kanada, India dan Italia. Institusi Ombudsman sektor publik banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, Amerika latin, Karibia, Afrika, Australia, Pasifik dan Asia.
Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang dan saat ini kurang lebih lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam Konstitusi.
Di negara-negara yang pernah mengalami totalitarian dengan rezim Militer yang kuat seperti Afrika misalnya, awalnya juga membentuk KON sebagai bagian dari proses transisi menuju demokrasi. Negara-negara yang berfaham Komunis seperti RRC bahkan memiliki institusi semacam Ombudsman yang sangat kuat bernama Minister of Supervision, begitu juga dengan Vietnam. Sehingga meskipun Ombudsman menjadi suatu keharusan dalam negara demokratis, bukan berarti ia (atau setidaknya institusi sejenis Ombudsman) tidak dapat berkembang di negara-negara yang tidak menjadikan demokrasi sebagai pijakan. [4]
Perkembangan terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan Ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang-Undang. Barangkali, bila amandemen kelima bergulir, keberadaan KON di tingkat konstitusi akan dapat terwujud.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas, pengundangan Ombudsman menjadi salah satu indikator keberhasilan program pembangunan hukum nasional. Sejalan dengan itu Presiden melalui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 memberi tugas kepada Ombudsman untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Ombudsman (RUU Ombudsman). Sejalan dengan itu, dalam Sidang Umum MPR Tanggal 9 Nopember 2001, MPR mengeluarkan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 yang isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan DPR agar membuat undang-undang antara lain tentang kebebasan memperoleh informasi, undang-undang ombudsman dan undang-undang perlindungan saksi.
Draft RUU Ombudsman diselesaikan oleh KON sejak tahun 2001 dan pada tahun 2002 menjadi inisiatif DPR RI. Namun sampai tahun 2004 pemerintah tidak merespon sebagaimana mestinya, karena tidak segera mengeluarkan Amanat Presiden untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Ombudsman.
RUU KON yang sudah menjadi inisiatif DPR, kandas begitu saja ketika tidak ada keinginan dari Presiden Megawati saat itu mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk wakil pemerintah untuk membahasnya dengan DPR. Meskipun DPR telah mangajukan hal tersebut jauh sebelum putaran suksesi dalam Pemilu 2004 dimulai. Demikian juga halnya pemerintahan SBY yang tidak memasukkan UU Ombudsman sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2004-2009. Untungya dalam hal ini DPR periode 2004-2009 melalui Komisi III dan Badan Legislasi memberikan komitmennya untuk tetap mendukung agar UU Ombudsman dapat segera disahkan dalam masa jabatan mereka.
Pada tahun 2005 DPR kembali memasukkan RUU Ombudsman RI sebagai usul inisiatif, dan pada tahun 2007 dimulai pembahasannya di DPR. Menteri Hukum dan HAM ditunjuk Presiden sebagai wakil pemerintah untuk melakukan pembahasan bersama dengan Komisi III DPR RI. RUU ini secara maraton, namun rencana tersebut dibatalkan. Sampai akhir tahun 2007 ini DPR dan Pemerintah baru menyelesaikan pembahasan sejumlah 16 DIM. Artinya masih tersisa 199 yang harus dibahas pada tahun 2008. Mengingat pembahasan RUU Ombudsman belum diselesaikan, maka pada tahun 2007 DPR RI untuk kedua kalinya memasukkan RUU Ombudsman RI dalam Prolegnas dan dibahas serta disahkan pada tahun 2008.



III. Perbandingan Keppres 40 Tahun 2000 dan UU 37/2008
DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang Ombudsman. Melalui forum Rapat Paripurna Tanggal 9 September 2008 seluruh fraksi satu suara menyetujui RUU yang dibahas sejak tahun 2005 itu menjadi Undang-undang. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia telah berlaku menggantikan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 yang lebih dari delapan tahun menjadi landasan hukum Komisi Ombudsman Nasional dalam menjalankan tugasnya. Setelah berlakunya Undang-undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.[5]
Dengan pemberlakuan UU 37/2008, memberikan makna penting bagi Ombudsman RI, yakni Ombudsman bukan lagi berbentuk komisi,melainkan lembaga negara yang sejajar dengan kepolisian dan kejaksaan. Kewenangan lembaga ini juga bertambah. Ombudsman memiliki kewenangan lebih dalam melakukan perannya dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.  Dulu, di bawah Keppres 44 Tahun 2000, KON hanya berfungsi sebagai pemberi pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of sanction). KON tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen pemaksa (legally binding/su poena power). Walaupun dalam beberapa kasus (ternyata) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat. Ini dikarenakan figur seorang Ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya integritas, kredibilitas dan kapabilitasnya, sebab pemilihannya dilakukan melalui proses yang partisipatif, transparan dan accountable. Pengaruh Ombudsman masuk melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan kepada Penyelenggaran Negara. Walaupun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR. Untuk kasus-kasus tertentu yang signifikan dan krusial, melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik (eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi Ombudsman. Namun dalam prakteknya dulu, tidak sedikit rekomendasi KON yang dikesampingkan atau bahkan dipinggirkan.
Di bawah UU 37/2008, yang sebelumnya rekomendasi Ombudsman bersifat tidak mengikat, kini rekomendasi itu wajib. Artinya, setiap instansi yang menjadi pihak terlapor,wajib menjalankan rekomendasi kami.Jika rekomendasi tidak dilaksanakan maka akan dikenakan sanksi administratif. Pengaturan Ombudsman dalam undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah.
Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah propinsi, kabupaten/kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki subpoena power, rekomendasi bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang menghalang-halangi Ombudsman dalam menangani laporan. Mengingat besarnya kewenangan dalam undang-undang, Ombudsman RI perlu melakukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang diamanatkan undang-undang. Kewenangan yang besar harus ditunjang oleh infrastruktur yang kuat dan sumberdaya manusia yang profesional. Bila Ombudsman tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai maka kewenangan yang diberikan oleh undang-undang menjadi tidak berarti.
Selain itu, UU 37/2008 memberi penambahan kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak (Pasal 8 ayat (1) huruf e). UU ini juga merampingkan komposisi Ombudsman yang awalnya berdasarkan Keppres 44/2000 berjumlah 11 orang, menjadi hanya tujuh orang. Masa jabatan ditetapkan berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan tambahan.
Dalam menangani laporan, setiap pimpinan dan anggota Ombudsman diwajibkan merahasiakan identitas pelapor. Kewajiban ini melekat terus meski pimpinan dan anggota yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan. Namun, kewajiban ini dapat dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan publik yang meliputi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat luas.
Demi efektivitas kerjanya, Ombudsman juga diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan lapangan ke objek pelayanan publik yang dilaporkan, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini tidak pernah diatur dalam Keppres 40/2000. Inspeksi “dadakan” ini tetap harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Untuk menjaga netralitas, UU Ombudsman memuat aturan yang melarang pimpinan atau anggota Ombudsman turut serta memeriksa laporan jika di dalamnya memuat informasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan.
UU 37/2008 ini juga memberikan dua hak ekslusif untuk Ombudsman. Pertama, hak imunitas atau kekebalan sebagai dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman. Dengan imunitas ini, (sebagaimana diatur dalam Pasal 10), Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan.[9] Kedua, upaya pemanggilan paksa. Pasal 31 menyatakan “Dalam hal terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa”.

1.    EKSISTENSI OMBUDSMAN DI INDONESIA TERKAIT DENGAN DIBENTUKNYA UNDANG-UNDANG PELAYANAN PUBLIK
Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.[6]
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan public.
Pengertian
Dalam Undang-Undang Pelayanan Publik terdapat pengertian Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.[7]  Atasan satuan kerja Penyelenggara merupakan pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik, Organisasi penyelenggara pelayanan publik atau Organisasi Penyelenggara merupakan satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Pelaksana pelayanan publik atau Pelaksana merupakan pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik, Masyarakat merupakan seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, Standar pelayanan merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, Maklumat pelayanan merupakan pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan, Sistem informasi pelayanan publik atau Sistem Informasi merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik, Mediasi merupakan penyelesaian sengketa pelayanan publik antarpara pihak melalui bantuan, baik oleh ombudsman sendiri maupun melalui mediator yang dibentuk oleh ombudsman, Ajudikasi merupakan proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antarpara pihak yang diputus oleh ombudsman, Menteri merupakan menteri dimana kementerian berada yang bertanggung jawab pada bidang pendayagunaan aparatur negara, Ombudsman merupakan sebuah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Asas dan Tujuan
Undang-Undang ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan gar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam  mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik. ORI berwenang untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan instansi pemerintahan terhadap dugaan  praktek Maladministrasi (kesalahan administrasi) Yaitu meliputi keputusan-keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate), penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power), keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) atau pelanggaran kepatutan (equity). ORI bekerja antara lain berdasarkan  laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi yang terjadi pada pelayanan publik, mengidentifikasi dan menindak kasus yang terbukti kebenarannya dengan hasil akhir dapat berupa teguran, sanksi bagi aparat yang bersalah sampai pada pemberhentian berdasarkan keputusan instansi tersebut. Selain itu ORI juga dapat melakukan penyelidikan atas prakarsa sendiri.
Sampai pada tahun ketiga setelah berdirinya-bahkan jika dihitung dari pertama dibentuk sebagai Komisi Ombudsman Nasional pada tahun 2000, ORI telah berusia sepuluh tahun-ORI telah mendapatkan beberapa laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi yang terjadi pada pelayanan publik. Pada tahun 2009 ORI mendapatkan 1.237 pelaporan masyarakat dan banyak diantaranya yang sudah diselesaikan. Namun melihat realitas birokrasi di Indonesia yang sudah sangat akut, rasanya hasil tersebut masih dinilai kurang. Jika dibandingkan dengan Negara tetangga kita misalnya Australia yang mendapat 20.000 laporan pada tahun 2001, hasil tersebut masih sangat jauh dari harapan.
Berangkat dari hal tersebut mesti dicari penyebab kurangnya pelaporan masyarakat kepada Ombudsman. Berdasarkan buku laporan tahunan ORI 2009 dari data asal pelapor menujukan pelaporan terbanyak didominasi oleh pelapor asal daerah yang terdapat kantor ORI dan perwakilan ORI di daerahnya seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan NTT. Sedangkan daerah yang tidak terdapat kantor perwakilan ORI sangat minim sekali jumlah pelapor. Kemudian dari data mengenai mekanisme penyampaian laporannya, mekanisme dengan menggunakan Surat dan dengan datang langsung mendominasi dan terpaut jauh dengan mekanisme lainya seperti Telepon, fax, dan Internet. Hal tersebut dapat disebabkan karena angka melek teknologi masyarakat Indonesia yang masih minim. Menteri komunikasi dan informasi Republik Indonesia Tifatul Sembiring mengatakan, sampai Mei 2010 baru 20% masyarakat Indonesia yang melek teknologi informasi. (detiknews.com). Selanjutnya data lainnya ialah sosialisasi yang dilakukan ORI meliputi diskusi interaktif dan klinik penerimaan laporan yang juga kurang merata dilaksanakan ORI, dan Iklan Layanan Masyarakat yang kurang intensif dengan Jumlah Tayang dan waktu tayang yang sangat minim merupakan capaian yang rendah dalam hal sosialisasi ORI mengingat anggaran ORI untuk bidang sosialisasi penyuluhan dan penyebaran informasi yang sangat besar yaitu Rp.2.329.929.000.
Dalam rapat dengar pendapat yang diselenggarakan komisi II DPR-RI dengan Ombudsman, anggota  komisi II DPR-RI Irvansyah mengatakan bahwa Ombudsman belum maksimal melakukan sosialisasi dan masih terdengar  belum memasyarakat. Dalam kesempatan itu Ketua Komisi II Chaeruman Harahap meminta ORI lebih menggiatkan lagi upaya sosialisasi.[8]
Tugas untuk mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja. melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit pelayanan publik, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara bertugas merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik, memfasilitasi lembaga terkait untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antarpenyelenggara yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme yang ada, melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik dengan mengumumkan kebijakan nasional tentang pelayanan publik atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil koordinasi, membuat peringkat kinerja penyelenggara secara berkala; dan dapat memberikan penghargaan kepada penyelenggara.[9] dan penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.
Dalam perundangan-undangan pelayanan publik ini meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yaitu pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata. Pelayanan publik ini mengatur pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
Pelayanan atas jasa publik merupakan penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi Negara.


 
BAB III
KESIMPULAN
Keberadaan Ombudsman di Indonesia awalnya dibentuk dengan nama “Komisi Ombudsman Nasional” pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Sejak disahkannya RUU Ombudsman RI menjadi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 oleh DPR RI pada tanggal 9 September 2008, lembaga KON berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia, pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman
Dalam Undang-Undang Pelayanan Publik terdapat pengertian Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam  rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Undang-Undang ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan gar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam  mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik.
SARAN
                Bagaimana upaya ombudsman dalam mengadakan sosialisasi kepada masyarakat, Karna pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang keberadaan ombudsman. Sosialisasi dapat juga dilakukan dengan cara  meningkatkan jumlah tayang dan waktu tayang Iklan layanan masyarakat di media surat kabar dan radio, serta menambahkan media televisi dan website sebagai penyedia jasa iklan layanan masyarakat ORI.


DAFTAR PUSTAKA
Antonius Sujata, dkk., Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang Dan Masa Mendatang, Jakarta, Komisi Ombudsman Nasional, 2002
UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
UU RI No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik

Website:
www.ombudsman.or.id.
www.wikipedia
www.hukumonline.com
http://www.infokedokteran.com/pdf/makalah-ombudsman.html
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79:ombudsman-dalam-bingkai-ketatanegaraan-ri-sejarah-pembentukan-dan-tantangan-kedepan&catid=23:makalah&Itemid=11


[1] Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
[2] Keppres Nomor 44 Tahun 2000

[3] Institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, meskipun demikian pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan (seperti) Ombudsman. Bryan Gilling  dalam tulisannya berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran Romawi terdapat institusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model pengawasan seperti Ombudsman juga telah banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol adalah ketika pada tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawas bernama Control Yuan atau

[4] Antonius Sujata dan Surahman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002.
[5] Pasal 46 Bab Ketentuan Peralihan menyatakan “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, nama Ombudsman yang telah digunakan sebagai nama institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan undang-undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini”.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pelayanan_Publik
[7] Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
[8] www.hukumonline.com
[9] Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

7 komentar:

  1. terima kasih sangant bermanfaat sekali

    BalasHapus
  2. OMBUDSMAN SANGAT PENTING UNTUK NEGARA

    BalasHapus
  3. siang kak, ada gak biography lengkap tentang mantan ketua ombudsman, pak danang? terimakasih

    BalasHapus
  4. If you'd like an alternative to randomly approaching girls and trying to find out the right thing to do...

    If you would prefer to have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in noisy bars and restaurants...

    Then I encourage you to view this eye-opening video to learn a weird secret that might get you your own harem of sexy women:

    FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM!!!

    BalasHapus
  5. makalahnya bagus sangat membantu saya dalam hal lebih mengerti tentang apa dan bagaimana serta cara lembaga ombudman berkerja, tetapi menurut saya seharusnya lembaga ombudsman lebih lagi seperti harus bertindak jika masyarakat memberikan laporan.

    BalasHapus

jangan lupa tinggalkan pesan yaa

Jika postingan ini bermanfaat silahkan di share atau di copy dengan mencantumkan sumber
>>Baca Juga yang Lainnya :