Materi Singkat TUN
Jenis-jenis Alat Bukti
Ada 5 macam alat bukti, yaitu :
1. Surat atau tulisan
2. Keterangan ahli
3. Keterangan saksi
4. Pengakuan para pihak
5. Pengetahuan hakim
Berikut penjelasannya :
1) Surat atau tulisan
Yaitu
Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian (Dr. Sudikno Mertokusumo, SH).
Macam-macam alat bukti surat :
Alat bukti surat ada 2 :
1. Akta,
adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.
· Akta otentik
· Akta dibawah tangan
2. Bukan akta
Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101, alat bukti sebagai berikut :
(1) Akta
otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat
ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
· Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
· Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)
Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten
No
|
Aspek / unsur
|
Ambtelijk Akten
|
Partij Akten
|
1
|
Inisiatif dari
|
Pejabat yang bersang-kutan karena jabatannya
|
Para pihak karena kepentingannya
|
2
|
Isi akta
|
Ditentukan oleh pejabat yang bersangkutan ber-dasarkan UU
|
Ditentukan oleh para pihak
|
3
|
Ditanda tangani oleh
|
Pejabat itu sendiri tanpa pihak lain
|
Para pihak dan pejabat yang bersangkutan serta saksi-saksi
|
4
|
Kekuatan bukti
|
Tidak dapat digugat kecuali dinyatakan palsu
|
Dapat digugat dengan pembuktian sebaliknya
|
(2) Akta
dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum
di dalamnya.
(3) Surat-surat lain yang bukan akta.
Bila
mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti
surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan
persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan
atau pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN
tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing
alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan
pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau
nilai pembuktian tersebut.
Pada
prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta
aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada,
hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai
dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada
para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan,
tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan,
foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti
yang asli.
2) Keterangan ahli
Berdasarkan
UU No.5/1986 pasal 102, keterangan ahli adalah pendapat orang yang
diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui
menurut pengalaman dan pengetahuannya. Kehadiran seorang ahli di
persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu
pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk
seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik
dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji
menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103
UPTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim
mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa
dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di
bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain.
Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai
keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi
(pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai
ahli.
3) Keterangan saksi
Saksi
adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia
lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa
atau keadaan tersebut.[9]Setiap
orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila
dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi
saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di
dengar keterangannya,
Sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :
a. Keluarga
sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
b. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
d. Orang sakit ingatan.
Ada
beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula
mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
b. Setiap
orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.
Adakalanya,
orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim
dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan
sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu. Dan
apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis,
maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah
biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan
tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan
kepecayaannya. Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah
pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang
lain, ia wajib datang sendiri di persidangan.
Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya,[13] adalah :
Keterangan saksi
1. Seorang
(beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan
keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami
sendiri
2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu
Keterangan ahli
1. Seorang
(beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan
keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa
2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.
4.
4) Pengakuan para pihak
Pengakuan
adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian
dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.
Menurut
pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik
kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh
hakim. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang
bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus,
untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang
memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa
dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar.
Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang
diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan
konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau
bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan
saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.
5) Pengetahuan hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.[16]
Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan
sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam
persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para
pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para
pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti
dalam memutus perkara.
Sistem Hukum Pembuktian Hukum Tata Usaha Negara
Dalam
hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam
pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para
pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan :
1. Apa yang harus dibuktikan
2. Siapa
yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri
3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan
Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.
Sesuai
dengan pasal 100 UU No.5/1986 dapat disimpulkan bahwa hukum acara TUN
itu menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat-alat
bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal
tersebut, begitu juga sesuai dengan pasal 107 UU No.5/1986 hakim
dibatasi kewenangannya menilai sahnya pembuktian yaitu paling sedikit 2
alat bukti berdasarkan keyakinannya.
Surat Kuasa Beracara di PTUN
Surat
kuasa merupakan suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan
kuasa pada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan. Didalam surat kuasa terdapat unsur
pemberian kewenangan kepada seorang atau beberapa orang, baik
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama untuk menyelenggarakan suatu urusan pemberi kuasa. Bentuk pemberian kuasa dapat berupa pemberian kuasa secara umum ataupun secara khusus.
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama untuk menyelenggarakan suatu urusan pemberi kuasa. Bentuk pemberian kuasa dapat berupa pemberian kuasa secara umum ataupun secara khusus.
Menunjukan
surat kuasa hukum di PTUN sifatnya tidak wajib. Fungsi kuasa hukum
merupakan alternatif, apakah kuasa hukum itu mendampingi dalam perkara
atau mewakili dalam sengketa di Pengadilan. Pemberian kuasa hanya dapat
diberikan kepada seseorang atau beberapa (atau banyak) orang yang
memiliki ijin beracara di Pengadilan (dalam hal ini adalah advokat).
Jaksa selaku Pengacara Negara, atau Pejabat Administarsi Negara yang
dikuasakan untuk itu dapat pula berkedudukan sebagai Kuasa Hukum dari
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berkedudukan sebagai tergugat.
Cara
pemberian kuasa dapat dilakukan melalui surat kuasa khusus (tidak
diperkenankan surat kuasa yang sifatnya umum) atau secara lisan
dipersidangan. Jika surat kuasa diberikan secara tertulis, maka surat
kuasa wajib dilampirkan dalam surat gugatan atau diserahkan dalam
persidangan. Apabila tindakan penerima kuasa telah melampaui batas
kewenangan yang
dikuasakan kepadanya, maka pemberi kuasa dapat mengajukan pembatalan kepada Hakim atas tindakan tersebut dan untuk selanjutnya tindakan kuasa hukum tersebut dicoret dari Berita Acara Persidangan.
dikuasakan kepadanya, maka pemberi kuasa dapat mengajukan pembatalan kepada Hakim atas tindakan tersebut dan untuk selanjutnya tindakan kuasa hukum tersebut dicoret dari Berita Acara Persidangan.
Adapun elemen dari Surat Kuasa adalah sebagai berikut:
· Judul : “Surat Kuasa”, bagian tengah “khusus”.
· Identitas pemberi kuasa (nama, umur, pekerjaan, alamat)
· Identitas penerima kuasa (nama, profesi, alamat)
· Subjek tergugat & objek gugatan;
· Kompetensi relative;
· Penyebutan kewenangan penerima kuasa (khusus) secara limitatif;
· (hak upah, hak subtitusi jika di perlukan);
· Tanda tangan para pihak, tempat dan tanggal pembuatan serta ditempeli materai.
Suatu surat gugat harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Syarat Formil
Gugatan
harus memuat nama, kewarganegaraan, tempat tinngal, pekerjaan penggugat
maupun kuasanya (termasuk melampirkan surat kuasa jika memakai kuasa)
dan nama jabatan
dan tempat kedudukan tergugat.
dan tempat kedudukan tergugat.
2. Syarat Materiil
Gugatan
harus memuat posita (dasar atau alasan-alasan gugatan) dan petitum
(tuntutan baik tuntutan pokok maupun tambahan (ganti rugi dan/atau
rehabilitasi)).
Adapun kerangka Surat Gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, adalah sebagai berikut:
(1) Gugatan harus memuat :
· nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
· nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
· dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat.
Alasan gugatan sebagaimana diatur dalam UU No.5 Th. 1986 diatur dalam Pasal 53 ayat
(2), yaitu:
(2), yaitu:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku
b) Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut (Melanggar larangan penyalahgunaan wewenang /
detournement de pouvior);
c) Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang
tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan
atau tidak pengambilan keputusan tersebut (melanggar larangan willekeur/
sewenang-wenang ).
Meskipun
dalam Pasal 53 ayat (2) haya ditentukan 3 alasan dalam mengajukan
gugatan, akan tetapi dalam yurisprudensi dan doktrin dikenal pula adanya
alasan gugatan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik/layak/patut (AUPB/L/P). Setelah perubahan UU PTUN, yaitu dengan UU
No.9 Th. 2004, alasan gugatan menjadi dua macam, yaitu:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku,
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam
penjelasan Pasal 53 ayat (2) dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
.asas-asas umum pemerintahan yang baik. adalah meliputi asas: kepastian
hukum; tertib penyelenggaraan negara; keterbukaan; proporsionalitas;
profesionalitas; akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan penafsiran otentik
sebagaimana Penjelasan Pasal 53 tersebut, sebenarnya dapat timbul
beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: pertama, bagaimanakah kedudukan
AUPB doktrinal dalam kaitannya dengan alasan gugatan, kedua, mengapa
dalam penjelasan tersebut hanya diuraikan 6 asas, padahal UU No.28 Tahun
1999 menyebutkan 7 asas.
Dalam
pada itu, untuk menganalisa apakah suatu KTUN itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat digunakan ukuran dibawah
ini. Pejabat Tata Usaha Negara dikatakan telah melanggar peraturan
perundang-undangan, jika Keputusan yang diterbitkan:
(1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal;
(2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/Subtansial;
(3) Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang, dalam hal keputusan dikeluarkan oleh:
a. Pejabat
yang membuat keputusan tidak memiliki kewenangan tersebut, dalam arti
keputusan tersebut tidak ada dasarnya dalam peraturan
perundang-undangan;
b. Pejabat yang membuat keputusan melampaui kewenangan karena wilayah hukumnya diluar batas kewenangannya;
c. Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan Keputusan
TUN, artinya dari segi waktu Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa tinggalkan pesan yaa