Ombudman Reoublik Indonesia (ORI)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga negara di manapun. Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance). Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek maladministrasi, antara lain terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efesien, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. Setalah reformasi bergulir, reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan semangat reformasi itu, pemerintah melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan membentuk lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Salah satu diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut Ombudsman Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000, berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pembentukan lembaga Ombudsman bertujuan untuk membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui peran serta masyarakat.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (mains state organs). Adapun selain itu, seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU), termasuk Ombudsman Republik Indonesia dan sebagainya adalah sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary bodies).
Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural oleh Inspektorat Jenderal, maupun fungsional yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu, juga ada terdapat organisasi non pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara. Akan tetapi kesemua lembaga itu memiliki catatan tersendiri sehingga mengecewakan masyarakat. Lembaga pengawas struktural yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan atau departemen. Pengawasan fungsional oleh Badan Pemeriksa Keuangan hanya sempit pada masalah pengawasan uang negara dan tidak menerima keluhan yang bersifat individual. Dewan Perwakilan Rakyat dengan fungsi pengawasannya kepada pemerintah lebih bersifat politis karena memang secara kelembagaan adalah lembaga politik dan tidak terlepas dari kelompok yang mereka wakili. Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh LSM karena lembaga swasta dan kurang fokus sehingga sering ditanggapi “acuh tak acuh”. Oleh karena itu, keberadaan Ombudsman sebagai lembaga negara yang mandiri dan bebas dari kekuasaan manapun serta menerima pengaduan masyarakat sangat dibutuhkan. Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional pengaduan pelayanan publik hanya disampaikan kepada instansi yang dilaporkan dan penegakannya sering dilakukan oleh pejabat yang dilaporkan sehingga masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Selain itu, untuk menyeleseikan pengaduan pelayanan publik, selama ini dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyeleseian melalui pengadilan tersebut memerlukan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni Ombudsman Republik Indonesia yang dapat menangani pengaduan pelayanan publik dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya. Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pada tanggal 7 oktober Tahun 2008, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya. Pengaturan Ombudsman dalam Undang-Undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki subpoena power (kekuatan memaksa), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi Ombudsman dalam menangani laporan.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.[1] Tugas Ombudsman adalah memeriksa laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga negara di manapun. Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance). Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek maladministrasi, antara lain terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efesien, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. Setalah reformasi bergulir, reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan semangat reformasi itu, pemerintah melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan membentuk lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Salah satu diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut Ombudsman Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000, berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pembentukan lembaga Ombudsman bertujuan untuk membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui peran serta masyarakat.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (mains state organs). Adapun selain itu, seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU), termasuk Ombudsman Republik Indonesia dan sebagainya adalah sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary bodies).
Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural oleh Inspektorat Jenderal, maupun fungsional yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu, juga ada terdapat organisasi non pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara. Akan tetapi kesemua lembaga itu memiliki catatan tersendiri sehingga mengecewakan masyarakat. Lembaga pengawas struktural yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan atau departemen. Pengawasan fungsional oleh Badan Pemeriksa Keuangan hanya sempit pada masalah pengawasan uang negara dan tidak menerima keluhan yang bersifat individual. Dewan Perwakilan Rakyat dengan fungsi pengawasannya kepada pemerintah lebih bersifat politis karena memang secara kelembagaan adalah lembaga politik dan tidak terlepas dari kelompok yang mereka wakili. Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh LSM karena lembaga swasta dan kurang fokus sehingga sering ditanggapi “acuh tak acuh”. Oleh karena itu, keberadaan Ombudsman sebagai lembaga negara yang mandiri dan bebas dari kekuasaan manapun serta menerima pengaduan masyarakat sangat dibutuhkan. Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional pengaduan pelayanan publik hanya disampaikan kepada instansi yang dilaporkan dan penegakannya sering dilakukan oleh pejabat yang dilaporkan sehingga masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Selain itu, untuk menyeleseikan pengaduan pelayanan publik, selama ini dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyeleseian melalui pengadilan tersebut memerlukan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni Ombudsman Republik Indonesia yang dapat menangani pengaduan pelayanan publik dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya. Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pada tanggal 7 oktober Tahun 2008, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya. Pengaturan Ombudsman dalam Undang-Undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki subpoena power (kekuatan memaksa), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi Ombudsman dalam menangani laporan.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.[1] Tugas Ombudsman adalah memeriksa laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Sejarah pembentukan ombudsman di Indonesia?
2.
Bagaimana
eksistensi ombudsman terkait dengan di bentuknya pasal tentang pelayanan
publik?
PEMBAHASAN
Keberadaan Ombudsman dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia awalnya dibentuk dengan nomenklatur “Komisi Ombudsman
Nasional” pada tanggal 20
Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44
Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
Sejak disahkannya RUU Ombudsman RI menjadi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008
oleh DPR RI pada tanggal 9 September 2008, lembaga KON berubah menjadi Ombudsman
Republik Indonesia.
Gagasan pembentukan Ombudsman di Indonesia
sesungguh sudah pernah muncul di tahun 1999. Tanggal
8 Desember 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan
Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang
telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman dan Antonius
Sujata. Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman,
sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk dengan Keppres
tersebut.
Pada
tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman
kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang keberadaan Keppres
Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi hasil pembicaraan yang
telah disepakati sebelumnya. Sehingga akhirnya pada tanggal 20 Maret 2000 Gus
Dur mengeluarkan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi
Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
Ombudsman. [2]
Bila
dibaca Keppres Nomor 44 Tahun 2000, setidaknya terdapat tiga gagasan pentingnya
kehadiran Komisi Ombudsman Nasional;
- bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme;
- bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;
- bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan;
Di
awal pembentukannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden, KON memang
tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai Presiden kala itu. Sikap
tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat terjadi polemik
berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat itu Gus Dur
sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari dua orang
calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR.
Dalam
kasus tersebut, KON menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan
bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya pasal
8 ayat (1), yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur
selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib
menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena
pasal tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan
Gus Dur sebagai seorang Presiden. Oleh karena itu kemudian KON memberikan
rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur selaku Preseden memilih dan
menetapkan satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR. Dan ternyata Gus Dur
mengikuti saran Ombudsman dengan memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL
sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Dengan demikian
selesailah polemik yang berkepanjangan di masyarakat.
II. Proses Legislasi UU Ombudsman
Akar
sejarah perkembangan Ombudsman modern dapat dilacak dari istilah “justitie
ombudsman” (Ombudsman for justice) di Swedia yang didirikan pada tahun
1809. Institusi
Ombudsman mulai menyebar ke negara-negara lain pada abad ke dua puluh, yaitu
ketika negera-negara Skandinavia mulai mengadopsinya: Finlandia pada 1919,,
Denmark (1955) dan Norwegia (1962). Popularitas institusi Ombudsman kemudian
meningkat sejak dekade 1960-an, ketika banyak negara-negara persemakmuran dan
negara-negara lain, terutama negara-negara Eropa mendirikan institusi Ombudsman
seperti halnya Selandia Baru (1962), Inggris (1967), Propinsi-propinsi di
Kanada (mulai tahun 1967), Tanzania (1968), Israel (1971), Puerto Rico (1977),
Australia (1977 pada tingkat federal, 1972-1979 pada tingkat negara), Perancis
(1973), Portugal (1975), Austria (1977), Spanyol (1981) dan Belanda (1981).[3]
Pada tahun 1998, lebih dari 100 negara di seluruh dunia
telah membentuk lembaga ombudsman. Di beberapa negara ada Ombudsman
yang eksistensinya berada pada tingkat regional, provinsi, negara bagian atau
pada tingkat distrik (kabupaten/kotamadya). Beberapa negara mempunyai institusi
Ombudsman pada tingkat nasional, regional dan sub-nasional seperti halnya
Australia, Argentina, Meksiko, dan Spanyol, sementara negara-negara yang lain
mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat sub-nasional pemerintahan seperti
Kanada, India dan Italia. Institusi
Ombudsman sektor publik banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara,
Amerika latin, Karibia, Afrika, Australia, Pasifik dan Asia.
Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada
akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang dan saat ini kurang lebih
lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam
Konstitusi, seperti antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika
Selatan, Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia
Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman Nasional, telah terlebih
dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam Konstitusi.
Di negara-negara yang pernah mengalami
totalitarian dengan rezim Militer yang kuat seperti Afrika misalnya, awalnya
juga membentuk KON sebagai bagian dari proses transisi menuju demokrasi.
Negara-negara yang berfaham Komunis seperti RRC bahkan memiliki institusi
semacam Ombudsman yang sangat kuat bernama Minister of Supervision,
begitu juga dengan Vietnam. Sehingga meskipun Ombudsman menjadi suatu keharusan
dalam negara demokratis, bukan berarti ia (atau setidaknya institusi sejenis
Ombudsman) tidak dapat berkembang di negara-negara yang tidak menjadikan
demokrasi sebagai pijakan. [4]
Perkembangan terakhir, Komisi Konstitusi
memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang
mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul
pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan
dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah
ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada
masyarakat. Dan
Ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik
Indonesia diatur dengan Undang-Undang. Barangkali, bila amandemen kelima
bergulir, keberadaan KON di tingkat konstitusi akan dapat terwujud.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Propenas, pengundangan Ombudsman menjadi salah satu indikator keberhasilan
program pembangunan hukum nasional. Sejalan dengan itu Presiden melalui Keppres
Nomor 44 Tahun 2000 memberi tugas kepada Ombudsman untuk mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang Ombudsman (RUU Ombudsman).
Sejalan dengan itu, dalam Sidang Umum MPR Tanggal 9 Nopember 2001, MPR
mengeluarkan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 yang
isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan DPR agar membuat undang-undang
antara lain tentang kebebasan memperoleh informasi, undang-undang ombudsman dan
undang-undang perlindungan saksi.
Draft RUU
Ombudsman diselesaikan oleh KON sejak tahun 2001 dan pada tahun 2002 menjadi
inisiatif DPR RI. Namun sampai
tahun 2004 pemerintah tidak merespon sebagaimana mestinya, karena tidak segera
mengeluarkan Amanat Presiden untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan
RUU Ombudsman.
RUU KON yang sudah menjadi inisiatif DPR,
kandas begitu saja ketika tidak ada keinginan dari Presiden Megawati saat itu
mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk wakil pemerintah untuk membahasnya
dengan DPR. Meskipun DPR telah mangajukan hal tersebut jauh sebelum putaran
suksesi dalam Pemilu 2004 dimulai. Demikian juga halnya pemerintahan SBY yang
tidak memasukkan UU Ombudsman sebagai prioritas dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) 2004-2009. Untungya dalam hal ini DPR periode 2004-2009
melalui Komisi III dan Badan Legislasi memberikan komitmennya untuk tetap mendukung
agar UU Ombudsman dapat segera disahkan dalam masa jabatan mereka.
Pada tahun 2005 DPR kembali memasukkan RUU Ombudsman RI
sebagai usul inisiatif, dan pada tahun 2007 dimulai pembahasannya di DPR.
Menteri Hukum dan HAM ditunjuk Presiden sebagai wakil pemerintah untuk
melakukan pembahasan bersama dengan Komisi III DPR RI. RUU ini secara maraton,
namun rencana tersebut dibatalkan. Sampai akhir tahun 2007 ini DPR dan
Pemerintah baru menyelesaikan pembahasan sejumlah 16 DIM. Artinya masih tersisa
199 yang harus dibahas pada tahun 2008. Mengingat pembahasan RUU Ombudsman
belum diselesaikan, maka pada tahun 2007 DPR RI untuk kedua kalinya memasukkan
RUU Ombudsman RI dalam Prolegnas dan dibahas serta disahkan pada tahun 2008.
III.
Perbandingan Keppres 40 Tahun 2000 dan UU 37/2008
DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang
Ombudsman. Melalui forum Rapat Paripurna Tanggal 9 September 2008 seluruh fraksi satu
suara menyetujui RUU yang dibahas sejak tahun 2005 itu menjadi Undang-undang.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia telah
berlaku menggantikan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 yang lebih dari
delapan tahun menjadi landasan hukum Komisi Ombudsman Nasional dalam
menjalankan tugasnya. Setelah berlakunya Undang-undang Ombudsman Republik
Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik
Indonesia.[5]
Dengan pemberlakuan UU 37/2008, memberikan
makna penting bagi Ombudsman RI, yakni Ombudsman bukan lagi berbentuk
komisi,melainkan lembaga negara yang sejajar dengan kepolisian dan kejaksaan.
Kewenangan lembaga ini juga bertambah. Ombudsman memiliki kewenangan lebih
dalam melakukan perannya dalam menindaklanjuti laporan masyarakat. Dulu, di bawah Keppres 44 Tahun 2000, KON hanya berfungsi sebagai
pemberi pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature
of sanction). KON tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen
pemaksa (legally binding/su poena power). Walaupun dalam beberapa kasus
(ternyata) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat. Ini dikarenakan figur seorang
Ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya integritas, kredibilitas dan
kapabilitasnya, sebab pemilihannya dilakukan melalui proses yang partisipatif,
transparan dan accountable. Pengaruh Ombudsman masuk melalui rekomendasi
yang disusun dan diberikan kepada Penyelenggaran Negara. Walaupun rekomendasi
Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti dapat diabaikan begitu
saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR. Untuk
kasus-kasus tertentu yang signifikan dan krusial, melalui mekanisme yang
tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik (eksekutif) atas tindakan
pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi Ombudsman. Namun dalam
prakteknya dulu, tidak sedikit rekomendasi KON yang dikesampingkan atau bahkan
dipinggirkan.
Di bawah UU 37/2008, yang sebelumnya
rekomendasi Ombudsman bersifat tidak mengikat, kini rekomendasi itu wajib.
Artinya, setiap instansi yang menjadi pihak terlapor,wajib menjalankan
rekomendasi kami.Jika rekomendasi tidak dilaksanakan maka akan dikenakan sanksi
administratif. Pengaturan
Ombudsman dalam undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik
kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman yang
akan sampai di daerah-daerah.
Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor
perwakilan Ombudsman di daerah propinsi, kabupaten/kota. Dalam hal penanganan
laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi
kewenangan besar dan memiliki subpoena power, rekomendasi bersifat
mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang menghalang-halangi
Ombudsman dalam menangani laporan. Mengingat besarnya kewenangan dalam
undang-undang, Ombudsman RI perlu melakukan langkah-langkah untuk mencapai
tujuan yang diamanatkan undang-undang. Kewenangan yang besar harus ditunjang
oleh infrastruktur yang kuat dan sumberdaya manusia yang profesional. Bila
Ombudsman tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai maka kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang menjadi tidak berarti.
Selain itu, UU 37/2008 memberi penambahan
kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi
atas permintaan para pihak (Pasal 8 ayat (1) huruf e). UU ini juga merampingkan
komposisi Ombudsman yang awalnya berdasarkan Keppres 44/2000 berjumlah 11 orang,
menjadi hanya tujuh orang. Masa jabatan ditetapkan berlaku selama lima tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan tambahan.
Dalam menangani laporan, setiap pimpinan dan
anggota Ombudsman diwajibkan merahasiakan identitas pelapor. Kewajiban ini
melekat terus meski pimpinan dan anggota yang bersangkutan berhenti atau
diberhentikan. Namun, kewajiban ini dapat dikesampingkan dengan alasan demi
kepentingan publik yang meliputi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat
luas.
Demi efektivitas kerjanya, Ombudsman juga
diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan lapangan ke objek pelayanan
publik yang dilaporkan, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini tidak
pernah diatur dalam Keppres 40/2000. Inspeksi “dadakan” ini tetap harus memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Untuk
menjaga netralitas, UU Ombudsman memuat aturan yang melarang pimpinan atau
anggota Ombudsman turut serta memeriksa laporan jika di dalamnya memuat
informasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan.
UU 37/2008 ini juga memberikan dua hak
ekslusif untuk Ombudsman. Pertama, hak imunitas atau kekebalan
sebagai dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman.
Dengan imunitas ini, (sebagaimana diatur dalam Pasal 10), Ombudsman tidak dapat
ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan.[9]
Kedua, upaya pemanggilan paksa. Pasal 31 menyatakan “Dalam hal
terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah
dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang
sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang
bersangkutan secara paksa”.
1.
EKSISTENSI
OMBUDSMAN DI INDONESIA TERKAIT DENGAN DIBENTUKNYA UNDANG-UNDANG PELAYANAN
PUBLIK
Undang-Undang
Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi
pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan
atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia,
mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan,
meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam,
memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.[6]
Negara berkewajiban melayani setiap
warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam
kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan
publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang
harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan
penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas
hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung
jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan
asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang
di dalam penyelenggaraan pelayanan public.
Pengertian
Dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
terdapat pengertian Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik, Penyelenggara pelayanan publik atau Penyelenggara
merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan
badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.[7]
Atasan satuan kerja Penyelenggara
merupakan pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu atau lebih
satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik, Organisasi penyelenggara
pelayanan publik atau Organisasi Penyelenggara merupakan satuan
kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Pelaksana pelayanan
publik atau Pelaksana merupakan pejabat, pegawai, petugas, dan
setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas
melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik, Masyarakat
merupakan seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai
orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai
penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, Standar
pelayanan merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai
kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang
berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, Maklumat pelayanan
merupakan pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan
janji yang terdapat dalam standar pelayanan, Sistem informasi pelayanan
publik atau Sistem Informasi merupakan rangkaian kegiatan yang
meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian
informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk
lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau
bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik, Mediasi
merupakan penyelesaian sengketa pelayanan publik antarpara pihak melalui
bantuan, baik oleh ombudsman sendiri maupun melalui mediator yang dibentuk oleh
ombudsman, Ajudikasi merupakan proses penyelesaian sengketa pelayanan
publik antarpara pihak yang diputus oleh ombudsman, Menteri merupakan
menteri dimana kementerian berada yang bertanggung jawab pada bidang
pendayagunaan aparatur negara, Ombudsman merupakan sebuah lembaga negara
yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi
tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
Asas dan Tujuan
Undang-Undang ini berasaskan pada
kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya
keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam
perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan
perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan
dan keterjangkauan dan bertujuan gar batasan dan hubungan yang jelas tentang
hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait
dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan
pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan
korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum
bagi masyarakat dalam mendapatkan
penyelenggaraan pelayanan publik. ORI berwenang untuk mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan instansi
pemerintahan terhadap dugaan praktek
Maladministrasi (kesalahan administrasi) Yaitu meliputi keputusan-keputusan
atau tindakan pejabat publik yang ganjil (inappropriate), menyimpang (deviate),
sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate),
penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power), keterlambatan yang tidak perlu
(undue delay) atau pelanggaran kepatutan (equity). ORI bekerja antara lain
berdasarkan laporan masyarakat terkait
dugaan maladministrasi yang terjadi pada pelayanan publik, mengidentifikasi dan
menindak kasus yang terbukti kebenarannya dengan hasil akhir dapat berupa
teguran, sanksi bagi aparat yang bersalah sampai pada pemberhentian berdasarkan
keputusan instansi tersebut. Selain itu ORI juga dapat melakukan penyelidikan
atas prakarsa sendiri.
Sampai pada tahun ketiga setelah
berdirinya-bahkan jika dihitung dari pertama dibentuk sebagai Komisi Ombudsman
Nasional pada tahun 2000, ORI telah berusia sepuluh tahun-ORI telah mendapatkan
beberapa laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi yang terjadi pada
pelayanan publik. Pada tahun 2009 ORI mendapatkan 1.237 pelaporan masyarakat
dan banyak diantaranya yang sudah diselesaikan. Namun melihat realitas
birokrasi di Indonesia yang sudah sangat akut, rasanya hasil tersebut masih
dinilai kurang. Jika dibandingkan dengan Negara tetangga kita misalnya Australia
yang mendapat 20.000 laporan pada tahun 2001, hasil tersebut masih sangat jauh
dari harapan.
Berangkat dari hal tersebut mesti
dicari penyebab kurangnya pelaporan masyarakat kepada Ombudsman. Berdasarkan
buku laporan tahunan ORI 2009 dari data asal pelapor menujukan pelaporan
terbanyak didominasi oleh pelapor asal daerah yang terdapat kantor ORI dan
perwakilan ORI di daerahnya seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara,
dan NTT. Sedangkan daerah yang tidak terdapat kantor perwakilan ORI sangat
minim sekali jumlah pelapor. Kemudian dari data mengenai mekanisme penyampaian
laporannya, mekanisme dengan menggunakan Surat dan dengan datang langsung
mendominasi dan terpaut jauh dengan mekanisme lainya seperti Telepon, fax, dan
Internet. Hal tersebut dapat disebabkan karena angka melek teknologi masyarakat
Indonesia yang masih minim. Menteri komunikasi dan informasi Republik Indonesia
Tifatul Sembiring mengatakan, sampai Mei 2010 baru 20% masyarakat Indonesia
yang melek teknologi informasi. (detiknews.com). Selanjutnya data lainnya ialah
sosialisasi yang dilakukan ORI meliputi diskusi interaktif dan klinik
penerimaan laporan yang juga kurang merata dilaksanakan ORI, dan Iklan Layanan
Masyarakat yang kurang intensif dengan Jumlah Tayang dan waktu tayang yang
sangat minim merupakan capaian yang rendah dalam hal sosialisasi ORI mengingat
anggaran ORI untuk bidang sosialisasi penyuluhan dan penyebaran informasi yang
sangat besar yaitu Rp.2.329.929.000.
Dalam rapat dengar pendapat yang
diselenggarakan komisi II DPR-RI dengan Ombudsman, anggota komisi II DPR-RI Irvansyah mengatakan bahwa
Ombudsman belum maksimal melakukan sosialisasi dan masih terdengar belum memasyarakat. Dalam kesempatan itu
Ketua Komisi II Chaeruman Harahap meminta ORI lebih menggiatkan lagi upaya
sosialisasi.[8]
Tugas untuk mengoordinasikan
kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan
pada setiap satuan kerja. melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik
dan melaporkan kepada pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di
seluruh satuan kerja unit pelayanan publik, Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendayagunaan aparatur negara bertugas merumuskan kebijakan nasional
tentang pelayanan publik, memfasilitasi lembaga terkait untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi antarpenyelenggara yang tidak dapat diselesaikan
dengan mekanisme yang ada, melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja
penyelenggaraan pelayanan publik dengan mengumumkan kebijakan nasional tentang
pelayanan publik atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil
koordinasi, membuat peringkat kinerja penyelenggara secara berkala; dan dapat
memberikan penghargaan kepada penyelenggara.[9]
dan penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung
jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan
pelayanan.
Dalam
perundangan-undangan pelayanan publik ini meliputi pelayanan barang publik dan
jasa publik serta pelayanan administratif yaitu pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan
hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya
alam, pariwisata. Pelayanan publik ini mengatur pengadaan dan penyaluran barang
publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan
daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau
badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi
ketersediaannya menjadi misi negara.
Pelayanan atas jasa publik merupakan penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi Negara.
Pelayanan atas jasa publik merupakan penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi Negara.
BAB
III
KESIMPULAN
Keberadaan Ombudsman di Indonesia awalnya
dibentuk dengan nama “Komisi Ombudsman Nasional” pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Sejak disahkannya RUU Ombudsman RI
menjadi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 oleh DPR RI pada tanggal 9 September
2008, lembaga KON berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia, pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres Nomor 44
Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus
menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman
Dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
terdapat pengertian Pelayanan publik
merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara
pelayanan publik atau Penyelenggara
merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan
badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Undang-Undang
ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan
hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif,
persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas,
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan
kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan gar batasan dan hubungan
yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak
yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem
penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan
penyelenggaraan pelayanan publik.
SARAN
Bagaimana
upaya ombudsman dalam mengadakan sosialisasi kepada masyarakat, Karna pada
kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang keberadaan
ombudsman. Sosialisasi dapat juga dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah tayang dan waktu tayang
Iklan layanan masyarakat di media surat kabar dan radio, serta menambahkan
media televisi dan website sebagai penyedia jasa iklan layanan masyarakat ORI.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius Sujata, dkk., Ombudsman
Indonesia: Masa Lalu, Sekarang Dan Masa Mendatang, Jakarta, Komisi Ombudsman
Nasional, 2002
UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia
UU RI No. 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik
Website:
www.ombudsman.or.id.
www.ombudsman.or.id.
www.wikipedia
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com
http://www.infokedokteran.com/pdf/makalah-ombudsman.html
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79:ombudsman-dalam-bingkai-ketatanegaraan-ri-sejarah-pembentukan-dan-tantangan-kedepan&catid=23:makalah&Itemid=11
[1] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor: 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
[3]
Institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia,
meskipun demikian pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem
pengawasan (seperti) Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The
Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran Romawi
terdapat institusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan
Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh para bangsawan. Model pengawasan seperti Ombudsman juga telah
banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol adalah ketika
pada tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawas bernama Control
Yuan atau
[4] Antonius Sujata dan Surahman, Ombudsman Indonesia di tengah
Ombudsman Internasional, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002.
[5] Pasal 46 Bab Ketentuan Peralihan menyatakan “Pada saat
Undang-undang ini mulai berlaku, nama Ombudsman yang telah digunakan sebagai
nama institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang bukan
merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan
undang-undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat dua tahun sejak
berlakunya undang-undang ini”.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pelayanan_Publik
[7] Pasal
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
[9] Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
terima kasih sangant bermanfaat sekali
BalasHapusOMBUDSMAN SANGAT PENTING UNTUK NEGARA
BalasHapusbermanfaat yess ...
BalasHapussiang kak, ada gak biography lengkap tentang mantan ketua ombudsman, pak danang? terimakasih
BalasHapusIf you'd like an alternative to randomly approaching girls and trying to find out the right thing to do...
BalasHapusIf you would prefer to have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in noisy bars and restaurants...
Then I encourage you to view this eye-opening video to learn a weird secret that might get you your own harem of sexy women:
FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM!!!
makalahnya bagus sangat membantu saya dalam hal lebih mengerti tentang apa dan bagaimana serta cara lembaga ombudman berkerja, tetapi menurut saya seharusnya lembaga ombudsman lebih lagi seperti harus bertindak jika masyarakat memberikan laporan.
BalasHapusmantap
BalasHapus